Bengkulu Utara, INDONESIAR1.com – Polemik mencuat seputar keberadaan satu unit mobil mewah Toyota Fortuner 4×4 yang dibeli menggunakan APBD tahun 2024 oleh Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Kabupaten Bengkulu Utara. Mobil senilai hampir satu miliar rupiah itu diduga tidak digunakan sesuai peruntukannya, bahkan ditengarai dipakai secara diam-diam oleh pihak lain di luar instansi pemilik barang.
Pengadaan kendaraan tersebut direalisasikan pada 26 April 2024. Namun setelah beberapa minggu berlalu, hasil penelusuran media menunjukkan bahwa mobil tersebut tidak terlihat di area parkir kantor BKAD, maupun di lingkungan Kantor Sekretariat Pemkab Bengkulu Utara.
Ketiadaan mobil di lokasi yang seharusnya menimbulkan tanda tanya besar. Sejumlah pihak menyebut mobil itu tidak pernah tampak digunakan untuk kepentingan operasional dinas. Hal ini memunculkan dugaan bahwa Fortuner 4×4 tersebut dipinjamkan tanpa prosedur resmi kepada pejabat penegak hukum (APH) di wilayah setempat.
Kepala Subbagian Umum BKAD Bengkulu Utara, saat dikonfirmasi, mengakui keberadaan mobil tersebut namun mengatakan bahwa kendaraan tersebut memang tidak ada di kantor. Ia tidak menjelaskan secara gamblang siapa pengguna mobil, hanya menyebut bahwa kendaraan itu dipinjamkan. Namun ia menghindari penjelasan rinci terkait mekanisme pinjam pakai, bahkan meminta wartawan untuk menanyakan langsung ke Bagian Aset atau ke pimpinan BKAD.
Praktik ini menyalahi sejumlah regulasi. Menurut UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, aset negara harus dikelola secara transparan, efisien, dan akuntabel. Kemudian, UU No. 1 Tahun 2004 menyebutkan bahwa barang milik daerah hanya boleh digunakan untuk kepentingan tugas pokok dan fungsi SKPD pemilik.
Peraturan Pemerintah (PP) No. 27 Tahun 2014 juga mempertegas bahwa peminjaman aset antar instansi pemerintah harus melalui persetujuan kepala daerah dan tidak boleh mengganggu fungsi utama instansi pemilik. Bila prosedur ini dilanggar, maka bisa dikategorikan sebagai penyalahgunaan barang milik daerah.
Tidak hanya pelanggaran administratif, kasus ini juga berpotensi masuk ranah pidana korupsi apabila terbukti terjadi penyalahgunaan wewenang dan pengalihan aset publik tanpa dasar hukum yang sah. Pasal 3 UU Tipikor mengatur bahwa penyalahgunaan wewenang yang menguntungkan pihak lain secara melawan hukum dapat dikenai pidana maksimal 20 tahun penjara.
Langkah penindakan bisa dimulai dari audit internal oleh Inspektorat dan BPK. Jika ditemukan indikasi kuat, maka penegakan hukum dapat dilakukan oleh kejaksaan atau lembaga antikorupsi seperti KPK.
Kasus ini menjadi cermin bahwa transparansi pengelolaan aset daerah mutlak diperlukan. Mobil dinas bukan simbol kemewahan, melainkan alat kerja yang harus dimanfaatkan sesuai aturan demi kepentingan rakyat.***
Artikel ini Telah Tayang di Media Berita Merdeka Online