Habib Aboe Soroti Restorative Justice dalam Revisi UU Polri

Habib Aboe Soroti Restorative Justice dalam Revisi UU Polri

indonesiar1.com – Pada Selasa, 28 Mei 2024, Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) sekaligus Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Aboebakar Alhabsyi, mengungkapkan bahwa rencana revisi Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Kepolisian Republik Indonesia (Polri) sedang dalam tahap pendalaman. “Kami masih mempelajari urgensi perbaikan UU tersebut, terutama dengan mempertimbangkan berbagai perkembangan yang ada di masyarakat,” ujar Aboebakar, yang akrab disapa Habib Aboe, setelah merespons hasil Rapat Paripurna DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta.

Habib Aboe menyoroti bahwa salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam revisi ini adalah nomenklatur restorative justice yang belum diatur dalam UU Polri. Meskipun prosedur restorative justice sudah dijalankan berdasarkan Peraturan Polri (Perpol) Nomor 8 Tahun 2022, pendekatan ini belum memiliki landasan hukum dalam undang-undang. Restorative justice adalah pendekatan penyelesaian konflik hukum yang melibatkan mediasi antara korban dan terdakwa serta bisa melibatkan perwakilan masyarakat.

“Sepertinya sudah saatnya memasukkan nomenklatur ini ke dalam UU Polri sebagai salah satu kewenangan dalam proses penyelesaian persoalan pidana. DPR RI juga perlu mendalami batasan dan ketentuan skim restorative justice tersebut agar dapat dijalankan dengan baik,” jelas Habib Aboe melalui siaran pers pada Rabu, 29 Mei 2024.

Selain restorative justice, Habib Aboe juga menyebutkan isu batas usia anggota Polri yang menjadi bahan diskusi dalam revisi UU tersebut. Ada usulan untuk memperpanjang batas usia pensiun anggota Polri yang saat ini maksimal 58 tahun. Menurutnya, usulan ini perlu ditelaah lebih lanjut agar tidak mengganggu atau merusak merit sistem yang ada di Polri. Pada 2022, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menyampaikan bahwa terdapat 700 personel berpangkat Komisaris Besar (Kombes) dan 100 berpangkat Brigadir Jenderal (Brigjen) yang berstatus non-job, menunjukkan adanya kelebihan personel yang tidak aktif dalam posisi tertentu.

“Situasi ini harus dijadikan salah satu analisis untuk memutuskan batas usia pensiun dalam UU Polri,” ujar Habib Aboe. Ia berharap revisi UU Polri dapat menguatkan struktur kelembagaan Polri sehingga institusi ini dapat terus meningkatkan pelayanannya bagi masyarakat.

Revisi UU Polri bukan hanya tentang menambahkan nomenklatur baru atau menyesuaikan batas usia pensiun, tetapi juga tentang memperkuat integritas dan profesionalitas Polri. Peran Polri dalam menjaga keamanan dan ketertiban di masyarakat sangat penting, sehingga peraturan yang mendasari operasionalnya harus terus disesuaikan dengan kebutuhan zaman.

Dalam proses pendalaman revisi UU Polri, perlu ada kajian mendalam yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk masyarakat, akademisi, dan praktisi hukum. Masukan dari berbagai pihak ini sangat penting untuk memastikan bahwa revisi yang dilakukan benar-benar menjawab tantangan dan kebutuhan di lapangan.

Restorative justice, sebagai salah satu aspek yang tengah dipertimbangkan, menunjukkan perubahan paradigma dalam penegakan hukum yang lebih manusiawi dan berorientasi pada pemulihan. Dengan memasukkan pendekatan ini dalam UU Polri, diharapkan penanganan kasus pidana bisa lebih efisien dan efektif, sekaligus memperbaiki hubungan sosial yang rusak akibat tindak pidana.

Namun, penerapan restorative justice juga harus diatur dengan jelas agar tidak disalahgunakan. Harus ada batasan dan ketentuan yang ketat untuk memastikan bahwa mediasi yang dilakukan benar-benar adil dan mengutamakan kepentingan korban. Dalam hal ini, peran Polri sebagai fasilitator mediasi sangat krusial.

Di sisi lain, diskusi mengenai batas usia pensiun anggota Polri harus mempertimbangkan keseimbangan antara kebutuhan organisasi dan kesejahteraan personel. Memperpanjang usia pensiun mungkin bisa menjadi solusi untuk menjaga pengalaman dan keahlian yang dimiliki oleh personel senior. Namun, hal ini juga harus diimbangi dengan regenerasi dan pemberian kesempatan bagi personel muda untuk berkembang.

Kejelasan dalam pengaturan batas usia pensiun juga dapat membantu mengurangi ketidakpastian bagi personel Polri dan memastikan bahwa penempatan dan promosi dilakukan berdasarkan merit. Dengan demikian, setiap anggota Polri dapat memiliki karir yang jelas dan terarah.

Sebagai institusi penegak hukum, Polri harus senantiasa menjaga profesionalitas dan integritas dalam menjalankan tugasnya. Revisi UU Polri harus menjadi momentum untuk memperkuat kedua aspek ini, sehingga Polri bisa semakin dipercaya oleh masyarakat. Pengawasan yang ketat dan evaluasi berkala terhadap kinerja Polri juga perlu dilakukan untuk memastikan bahwa setiap perubahan yang diimplementasikan memberikan hasil yang diharapkan.

Kasus-kasus penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran hukum yang melibatkan anggota Polri harus ditangani dengan tegas dan transparan. Ini penting untuk menunjukkan bahwa Polri benar-benar berkomitmen pada reformasi dan perbaikan internal.

Dalam konteks yang lebih luas, revisi UU Polri juga harus mendukung upaya pemerintah dalam menciptakan sistem hukum yang adil dan merata bagi semua warga negara. Kolaborasi antara Polri, lembaga penegak hukum lainnya, dan masyarakat menjadi kunci keberhasilan dalam mencapai tujuan ini.

Dengan demikian, revisi UU Polri diharapkan tidak hanya menjadi perubahan teknis dalam peraturan perundang-undangan, tetapi juga menjadi langkah maju dalam upaya memperkuat sistem penegakan hukum di Indonesia. Semoga dengan adanya perubahan ini, Polri bisa lebih responsif, transparan, dan akuntabel dalam menjalankan tugasnya demi kepentingan masyarakat.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *